“Tak apa anggap aja nembah pengalaman”, ujar bapak antara
menenangkan dan mendorongku untuk berangkat saat aku masih bimbang memilih kota
pelajar atau katulistiwa.
Hari itu, November 2011. Aku masih ingat saat mobil kantor kakakku
menjemput jam 6 pagi di depan rumah. Entah sudah scenario ALLOH, kebetulan
kantor kakakku juga akan mengantar manager baru ke bumi katulistiwa. Avansa
hijau khas BMT BUS mengantar kami ke Jakarta
yang nantinya baru bertolak ke Pontianak,
kota Katulistiwa. Agak setengah hati aku pergi. Di perjalananpun aku habiskan
hanya diam, mendengarkan para petinggi perusahaan kakakku bercerita satu per
satu diselingi humor ala mereka. 10 jam perjalanan, petang menyapa kami di Ibukota.
Hamparan jalan beton membawaku bernostalgia
menuju masa SMP saat sedang widyawisata ke sini. Petang itu kami mampir
sejenak ke masjid sebuah perumahan tempat tinggal kerabat bos kakakku utuk
sholat isya’dan dilanjutkan makan. Bukan tergolong keluarga baru sih, dilihat dari
usia anak mereka pernikahan mereka sudah menginjak lebih dari angka 10. Pondok
gede, tepatnya di kantor cabang BMT BUS kami akan manginap sementara, untuk
menunggu keberangkatan pesawat yang lumayan pagi.
Jam 3 pagi semua sudah siap. “biar nggk telat, mending kita ngloloni “ kata salah satu bos. Buta arah Jakarta aku hanya bias manut.
Avanza hijau digeber menyusuri ibukota pagi buta itu. 1 jam perjalanan dari
pondok gede ke tangerang bandara Soekarno-Hatta sudah mulai terlihat. Belum ada
aktivitas penerbngan ataupun pendaratan. “masih sepi, soalnya kita penerbangan
pertama” ujar salah satu bos. Menahan dinginnya ac mobil aku hanya menatap
pepohona di jalan sekitar bandara. Sekitar pukul 4 pagi kami masuk di bandara untuk
check in. 1jam kami habiskan untuk sholat dan duduk duduk sambari menunggu
pesawat kami berangkat.
Matahari menyingsing, diiringi suara speaker mengumumkan penerbangan kami sudah siap.
“duh, pesawat, aman nggk ya,” selalu
terlintas di kepalaku. Maklum dibalik badanku yang gede ini sebenarnya aku takut ketinggian. “anggap aja
kayak naik bus” ujar kakakku menenangkan. Banyaknya berita tentang kecelakaan
yang menimpa maskapai penerbangan dalam
negeri tetap saja membuatku agak merinding. “baca do’a mas, pas di dalem
pesawat baca baca tasbih” saran dr adek kelas melalui pesan singkat. Pagi itu
aku benar- benar mersa seperti anak TK yang takut untuk disuntik cacar.
Persis seperti anak kecil aku hanya mengikuti para petinggi dan
kakakku memasuki pesawat sambil sesekai foto narsis. Yaa maklumlah pertama
kalinya masuk bandara. Di dalam pesawat, serasa mendapat dorprize tiba-tiba pramugari
nan ayu jelita menghampiriku, akupun kaget, apa yang salah?, tak boleh bawa tas
kecilkah? Apa jangan-jangan aku salah naik pesawat?, ternyata hanya memberikan
instruksi bagaimana caranya membuka pintu darurat kalau-kalau terjadi
kecelakaan. Soalnya deret bangkuku berada disamping pintu darurat pesawat.
Sekitar 15 menit kami bersiap2 dari masuk, naruh tas, penjelasan keamanan dr
pramugari dan pesawat masuk ke landasan pacu. Dag dig dug, istighfar tak pernah
lepas kubaca saat pesawat melakukan take off. “cara terbaik menghilangkat rasa
takut adalah dengan melakukannya”, entah dari mana kata-kata itu melintas di
otakku bak wangsit. “Oke siapa takut” ujarku dalam hati seraya membuka mata
lebar-lebar dan melihat ke arah jendela. Rasa aneh mulai menjalari tubuh saat
badan pesawat mulai naik, serasa jantung jatuh perlahan kebawah, persis kala
menaiki lift. Entah karna pemandangan atau merasa aman dengan sabuk yang
mengikat kencang pinggangku, mataku asyik memandangi awan-awan putih di pagi
itu, sembari menikmati birunya laut jawa. Hilang entah kemana rasa takut tadi.
Yang ada hanya rasa biasa persis niak bus semarang rembang. lebih menakutkan
naik sinar mandiri malahan, alus banget rasanya. Seolah aspalnya mulus abis di
amplas. Turbolensi sedikit terjadi namun tak mengusik keasikkanku memandangi awan-awan
di ketinggian ribuan kaki ini. Kakakku
sudah tertidur lelap, bos bosnya juga. Setelah pesawat stabil, para pramugari
mulai membagikan snack untuk sarapan pagi. Sepotong roti dan segelas air
mineral. Ya namanya juga penerbangan hemat. Bukan sekelas garuda.
1 jam 15 menit pesawat mendarat di bandara Supadio, Pontianak,
Kalimantan Barat. Asing, sepi, entah aku bisa beradaptasi atau tidak.
Sebatangkara, tak ada kenalan atau saudara. Namun,………….
Bring it on,
live must go on. Aku tak akan menyiakan satu rupiahpun yang dikeluarkan orang
tuaku agar aku tiba disini. Pontianak be
nice please.
Pontianak,
22 November 2011
No comments:
Post a Comment