Thursday, June 12, 2014

Menuju Katulistiwa



 Tak apa anggap aja nembah pengalaman”, ujar bapak antara menenangkan dan mendorongku untuk berangkat saat aku masih bimbang memilih kota pelajar atau katulistiwa.
Hari itu, November 2011. Aku masih ingat saat mobil kantor kakakku menjemput jam 6 pagi di depan rumah. Entah sudah scenario ALLOH, kebetulan kantor kakakku juga akan mengantar manager baru ke bumi katulistiwa. Avansa hijau khas BMT BUS mengantar kami ke Jakarta  yang nantinya baru  bertolak ke Pontianak, kota Katulistiwa. Agak setengah hati aku pergi. Di perjalananpun aku habiskan hanya diam, mendengarkan para petinggi perusahaan kakakku bercerita satu per satu diselingi humor ala mereka. 10 jam perjalanan, petang menyapa kami di Ibukota. Hamparan jalan beton membawaku bernostalgia  menuju masa SMP saat sedang widyawisata ke sini. Petang itu kami mampir sejenak ke masjid sebuah perumahan tempat tinggal kerabat bos kakakku utuk sholat isya’dan dilanjutkan makan. Bukan tergolong keluarga baru sih, dilihat dari usia anak mereka pernikahan mereka sudah menginjak lebih dari angka 10. Pondok gede, tepatnya di kantor cabang BMT BUS kami akan manginap sementara, untuk menunggu keberangkatan pesawat yang lumayan pagi.
Jam 3 pagi semua sudah siap. “biar nggk telat, mending kita ngloloni “ kata salah satu bos.  Buta arah Jakarta aku hanya bias manut. Avanza hijau digeber menyusuri ibukota pagi buta itu. 1 jam perjalanan dari pondok gede ke tangerang bandara Soekarno-Hatta sudah mulai terlihat. Belum ada aktivitas penerbngan ataupun pendaratan. “masih sepi, soalnya kita penerbangan pertama” ujar salah satu bos. Menahan dinginnya ac mobil aku hanya menatap pepohona di jalan sekitar bandara. Sekitar pukul 4 pagi kami masuk di bandara untuk check in. 1jam kami habiskan untuk sholat dan duduk duduk sambari menunggu pesawat kami berangkat.
Matahari menyingsing, diiringi suara speaker mengumumkan penerbangan kami sudah siap. “duh, pesawat, aman nggk ya,”  selalu terlintas di kepalaku. Maklum dibalik badanku yang gede ini  sebenarnya aku takut ketinggian. “anggap aja kayak naik bus” ujar kakakku menenangkan. Banyaknya berita tentang kecelakaan yang  menimpa maskapai penerbangan dalam negeri tetap saja membuatku agak merinding. “baca do’a mas, pas di dalem pesawat baca baca tasbih” saran dr adek kelas melalui pesan singkat. Pagi itu aku benar- benar mersa seperti anak TK yang takut untuk disuntik cacar.
Persis seperti anak kecil aku hanya mengikuti para petinggi dan kakakku memasuki pesawat sambil sesekai foto narsis. Yaa maklumlah pertama kalinya masuk bandara. Di dalam pesawat, serasa mendapat dorprize tiba-tiba pramugari nan ayu jelita menghampiriku, akupun kaget, apa yang salah?, tak boleh bawa tas kecilkah? Apa jangan-jangan aku salah naik pesawat?, ternyata hanya memberikan instruksi bagaimana caranya membuka pintu darurat kalau-kalau terjadi kecelakaan. Soalnya deret bangkuku berada disamping pintu darurat pesawat. Sekitar 15 menit kami bersiap2 dari masuk, naruh tas, penjelasan keamanan dr pramugari dan pesawat masuk ke landasan pacu. Dag dig dug, istighfar tak pernah lepas kubaca saat pesawat melakukan take off. “cara terbaik menghilangkat rasa takut adalah dengan melakukannya”, entah dari mana kata-kata itu melintas di otakku bak wangsit. “Oke siapa takut” ujarku dalam hati seraya membuka mata lebar-lebar dan melihat ke arah jendela. Rasa aneh mulai menjalari tubuh saat badan pesawat mulai naik, serasa jantung jatuh perlahan kebawah, persis kala menaiki lift. Entah karna pemandangan atau merasa aman dengan sabuk yang mengikat kencang pinggangku, mataku asyik memandangi awan-awan putih di pagi itu, sembari menikmati birunya laut jawa. Hilang entah kemana rasa takut tadi. Yang ada hanya rasa biasa persis niak bus semarang rembang. lebih menakutkan naik sinar mandiri malahan, alus banget rasanya. Seolah aspalnya mulus abis di amplas. Turbolensi sedikit terjadi namun tak mengusik keasikkanku memandangi awan-awan di ketinggian ribuan kaki ini.  Kakakku sudah tertidur lelap, bos bosnya juga. Setelah pesawat stabil, para pramugari mulai membagikan snack untuk sarapan pagi. Sepotong roti dan segelas air mineral. Ya namanya juga penerbangan hemat. Bukan sekelas garuda.
1 jam 15 menit pesawat mendarat di bandara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat. Asing, sepi, entah aku bisa beradaptasi atau tidak. Sebatangkara, tak ada kenalan atau saudara. Namun,………….
Bring it on, live must go on. Aku tak akan menyiakan satu rupiahpun yang dikeluarkan orang tuaku agar aku tiba disini.  Pontianak be nice please.
Pontianak, 22 November 2011

No comments:

Post a Comment