Sepatu, ada
apa gerangan dengan sepatu?, haha nggak ada apa-apa sih, kemaren abis liat
ulang video stand up comedynya kak
@gepamungkas jadi kepikiran nulis ini. Sebenarnya cuma analogi aja sih, sepatu itu ibarat mantan. Mantan pacar,
mantan gebetan, mantan suami, mantan istri, mantan majikan,pembantu, supir,
pedagang, dll. Bukan- bukan, konteksnya ini hanya mantan pasangan. Kenapa sepatu? Ya jelas karena sepatu selalu
memiliki pasangan. selalu sepasang.Terus apa hubungannya mantan sama sepatu?.
Jadi gini, di
videonya kak ge, beliau menyebutkan mantan tu kayak sepatu, ya kalau kita beli
sepatu harus dipakelah jangan cuma disemir sma di pajang-pajang aja. *If You
know what mean* 3:). Tapi bukan itu yang
bakalan dibahas dimari, bukan tentang pemakaian sepatu tapi hubungan si sepatu
sama pemiliknya.
Di era
perpasangan usia dini ini nggk asing lah ya istilah pacaran. Bahka anak SD pun
udah punya pacar. Dunia semakin bebas. Kedewasaan bergeser. Yang dulunya tabu sekarang jadi hal biasa. Modern
katanya?. Katanya sih. Sadar nggak kalian perubahan budaya ini berbanding lurus
dengan meningkatnya generasi patah hati? (udah kayak lagunya Sheila on 7 aja
:D). Maraknya perpacaran usia dini jaman sekarang yang notabene masih labil,
mudah bosen, dan masih dalam proses pencarian jati diri, tak ayal jika hal ini terjadi. Putus nyambnglah, putus
nggk nyambung-nyambunglah de el el, dengan alesan yang menurutku kurang
kreatif, akuh, nggk jelas. Kayak kata bang @radityadika di stand up akhir tahun
metro tv th 2011 misalnya, “aku minta putus | lhoh kenpa sayang| kamu terlalu
baik buat aku”. Trus gua harus bilang, ma’af sayang besok aku akan lebih jahat
lagi sama kamu’’. Pernah juga pengalaman pribadiku. Diputusin sama cewek alesannya
nggak boleh pacaran sama ortu. Pas minta ma’af bilangnya apa coba “aku
beruntung bisa dapetin kamu dulu, pasti kamu dapet yang lebih baik dari aku”,
come on dude gimana ceritanya, kamu ngerasa beruntung ngedapetin sesuatu tapi
kamu buang. Sebulan setelah putus dia pacaran lagi. Dilarang ortu kataanya?.
Terkadang,
bukan terkadang ya, sering malah, terjadi timbal balik yang tak sehat antara
yang mencintai dan yang dicintai. Bukan hanya cewek aja *catet. Ya layaknya sepatu dan pemiliknya.
Dimana yang mencintai ibarat sepatu yang selalu sama nasibnya “ditinggalkan”.
Untuk pemelik sepatu sih bervariasi ya. Kayak kata bang ge, di SUCI 2 ada kok
pemilik yang setia sama sepatunya yak karena udah nyaman aja dipake, nggak mau
beli yang baru. Walaupun kadang kalau ngeliat sepatu yang lebih bagus suka
mbatin, tu sepatu bagus tuh, tapi punya gua kok gini ya.
Disisi lain
ada yang beli sepatu “ah ni bagus ni, beli ah”. Setela dipake beberapa hari
nggk enak trus dibuang. Nggk mau mencoba lebih lama lagi, nggak mau
menyesuaikan stelan sepatu agar sesuai dengan kaki. Samalah kayak remaja kalau
pacaran cuma ngeliat baiknya aja, fisik, sifat dll. Padahal tiap orang kan beda
beda, nggk sesuai apa yang kita perkirakan. Emangnya kita TUHAN yang tau
segalanya. Yang kita andalkan kan hanya “SOK TAU”. Kata budhe gua sih ya, dalam
menjalin hubungan apapun, yang diperlihatkan baik oleh manusia atau Tuhan
sendiri adalah kebaikannya, nggak semua sih tapi seringnya begitu. Dari aspek
manusia jelaslah semua orang pasti punya porsi kejaiman masing masing. Mana ada
sih orang yang nggak menunjukkan ke-aku’annya di moment pertama, apalagi sama
lawan jenis. Ini lhoh aku bisa ini, ini lhoh aku jago ini, ini lhoh aku baik
hati, pinter, rajin menabung suka menolong, nggak sombong, anak mama, manja, eh
bukan ya, :D. dari aspek Tuhan jelas,
ingin menguji makhluknya. Yang akhirnya menimbulkan perspektif positif bagi
manusia lainnya. Namun saat keburukannya keliatan, respon kita pasti satu, “kok
gini ya?, nggak sesuai perkiraanku”. Judulnya “menyesal”. Penyesalah memang jatuhnya
selalu dibelakang, kalau jatuhnya di depan namanya nyungsep dong.
Saat beli sepatu pasti yang
dilihat apa sih?
Kalau menurut aku sih ada
beberapa aspek. 1. Merk 2. Harga. 3. Model (fisik).
*Untuk urutan disesuaikan dengan
pribadi masing-masing ya, mana yang lebih penting.
1 merk.
Merk berkaitan dengan reputasi dan kualitas
semakin terkenal merknya semakin tinggilah ketiga hal tadi. Jika dianalogikan
tiap manusia mempunyai merknya masing-masing. Iya nggak? Reputasi, dan
kualitas. Layaknya merk sepatu merk manusia juga tersebar dari mulut ke mulut.
Opini teman. Saat kalian menyukai sebuah sepatu pasti kalian mencari referensi
kan? bisa dari temen, dari internet, atau yang lain. Tapi satu hal yang sama,
semua itu saran dari seseorang, hanya penyampaiannya yang berbeda. Sama halnya
saat kalian menyukai seseorang. Kalian akan tanya kesana kemari tentang si dia,
stalking bahasa kerennya sekarang. Anaknya gimana sih,alamat, nomor hape,
status dsb.
2. harga
Berkaitan
dengan merk, kalian pasti bisa menerka berapa harga dari sepatu itu, setelah kepo-kepo
tentang merk tadi. Harga disini dianalogikan sebagai usaha, pengorbanan, atau
apalah guna mendapatkan si dia. Setelah stalk tentang sebuah merk kalian pasti
menimbang nimbang, dengan harga segitu beli nggak ya, beli nggak ya?. Sama seperti saat udah tau tentang si dia
orangnya gini lho, susah didapetin,
cuek, dingin, atau ramah, terbuka, setia sama mantan, nggak bisa move on de el
el.
3. model
Aspek selanjutnya tak kalah penting adalah model,
bentuk, fisik. Dapat dipastikan saat mau membeli sesuatu pasti juga menilai
fisik untuk pertimbangan. Tak perlu dijelaskan lagi lah ya model disini
dianalogikan sebagai apa. Munafik rasanya kalau kita menyukai seseorang tak
melihat fisiknya, walaupun tiap orang memiliki model favorite yang
berbeda-beda. Ada juga orang yang menomor sekiankan model disamping merk dan
harga. Model belakangan yang penting menang merk dan kelihtan “mahal”.
Nah setelah
menimbang-nimbang aspek diatas, barulah keputusan final. Mau dibeli apa enggak
tu sepatu. Sekali lagi urutan di atas berdasarkan individu masing-masing, mana
yang lebih penting menurut selera kalian.
Dalam beberapa
hal, aspek di atas bisa juga tak berpengaruh. Love from the first sight. Tau
kan istilah itu. Teradang kalau udah suka, awal ngeliat ngk peduli merknya apa,
harganya, atau modelnya. Pokoknya suka, langsung deh dibeli.
Masalah timbul
karena manusia itu tumbuh, dan sepatu tidak. Tak semua sepatu yang dibeli bisa
dipakai selamanya, kecuai kaki kalian nggak tumbuh. Manusia pasti mengalami perkembangan
perasaan, pergaulan, dan cara pandang. Ada kalanya merasa terkekang denga
tingkah pasangan yang saklek,egois dan hanya mementingkan ego, tak mau dewasa.
Yang akhirnya membuat si pemakai merasa kesempitan, terbelenggu dan dibatasi
ruang geraknya. Mungkin lah inilah yang membuat orang terkadang takut untuk
terikat, takut untuk membangun sebuah komitmen
Masalah lain
timbul saat tak semua yang dibeli berdasarkan pertimbangan tadi itu cocok untuk
semua orang. terutama saat di awal pemakaian, walaupun sudah dikalkulasi,mana
yang kiranya paling sesuai dengan diri kita. ( dengan range pemakaian untuk
tiap orang berbeda-beda). Ada sih yang berhasil sesuai kalkulasi, cocok dan dipakai
terus sepatunya. Ada juga yang baru seminggu kepakai udah ngeluh, kok lama-lama
rasanya gini ya, nggak enak dipakai. Bahkan ada juga yang baru pakai udah
ngeluh. Kok gini ya. Ada juga yang
dipake cukup lama, tiba-tiba solnya lepas, jaitannya ada yang sobek dll. Dan
saat semua itu terjadi. Sepatu langsung ditaruh gudang, atau bahkan dibuang dan
beli baru. Padahal kalau menilik lebih jeli, bukan hanya karena karena factor sepatunya
aja kan, factor pemakainya juga. Hokum aksi reaksi kalau kata om newton.
Saat hal
tersebut terjadi, kembali lagi ke pemiliknya. Ada seperti tersebut diatas,
namun ada juga yang mempertahankan. Kecewa, pasti. Karena tak sesuai harapan.
Ragu, pasti. Saat ekspektasi tak sesuai dengan kenyataan. Tapi kembali lagi ke
cara pandang pemilik masing-masing. Sol sepatu lepas, masih bisa dibetulin kan.
Jahitan robek, masih bisa dijahit ulang kan. Bahkan bisa ditambahkan
aksen-aksen lain yang bisa memperindah sepatu tersebut.
Ketahuilah
bahwa tak semua kecacatan yang muncul itu perlu disesalkan, tergantung gimana
kitanya mau menerima, memperbaiki dan menyesuaikan. Satu hal yang terkadang
terlupa, saat kita berpikir pendek langsung membuang sepatu tersebut dan kita
menyesal, namun sepatu tersebut dipungut orang lain, orang lain itu mau
menerima kekurangan si sepatu, menyesuaikan, bahkan memperbaiki dan
memperindah, kita tak bisa seenaknya aja meminta balik sepatu tadi. Pun kita
menunggu sepatu tadi dibuang pemilik yang sekarang, kita tak bisa berharap
sepatu itu akan sama seperti saat kita membuangnya. Perubahan pasti ada.
Tergantung gimana aja kita menghadapinya. Jadi pertimbangkanlah baik-baik
dahulu apa yang akan kita lakukan terhadap sepatu kita.
Jadi, dalam
perjalanan hidupnya, manusia tak hanya membeli sebuah sepatu pastinya, ada
sepatu-sepatu bekas atau bisa disebut “mantan” sepatu yang pernah di pakai.
Seiring berjalannya waktu pasti menemukan satu, yang sekiranya pas, baik dari
merk, harga, maupun model tadi. Satu jenis saja yang memenuh kriteria dari
ketiga aspek tersebut. Saat kita tengok kebelakang pasti ada sepatu-sepatu
bekas atau “mantan” tadi. Karena kesempitanlah, modelnya nggak cocoklah,
merknya kurag baguslah dll. Saat kalian membeli sepatu, pertimbangkanlah aspek
aspek tadi jika memang diperlukan. Tapi kalu kalian mempunyai aspek
pertimbangan sendiri ya monggo. Tapi yang terpenting adalah, saat kalian sudah
membeli dan memiliki sebuah sepatu, pertimbangkanlah baik-baik bagaimana kalian
akan memperlakukannya. Jangan menilai terlalu singkat.
Overall, seperti kata orang, yang namanya
jodoh nggak akan kemana, sepasang sepatu pasti menemukan kakinya masing-masing.
NB : ini
ocehan ngelantur, nggk usah dimasukin dalam hati, tiap orang punya
pemeikirannya masing-masing. why you so serious? XD